Museum Adityawarman dan Intip Serba Serbi Isinya


Tempo hari, saya berkempatan mengunjungi beberapa museum di kawasan Kota Tua Jakarta. Selepas itu, saya pun terpikir untuk merencanakan penjelajahan museum yang ada di Sumatra Barat. Itung-itung mendata, tapi sepertinya menjadi wacana yang masih tertanam dalam benak ini.

Setidaknya saya tinggal di Kota Padang yang bisa dibilang memiliki satu-satunya museum yang masih terjaga dan representatif. Museum Adityawarman, itu namanya. Memang, saat berlibur ke Kota Padang tempat ini dapat menjadi rujukan untuk melihat lebih dekat keberagaman Ranah Minang. Museum ini sebagai salah satu tempat dalam menyelamatkan dan memperkenalkan warisan budaya yang ada di Sumatra Barat. Tak jarang juga dijuluki sebagai Taman Mini ala Sumatra Barat. Mantap kan?


Jelang siang itu, udara Kota Padang cukup terik dengan langit cerah, biru dan berawan. Dari rumah ke museum tidak begitu jauh, hanya berkisar 10 menit menggunakan motor. Muesum ini berlokasi berlokasi di Jalan Diponegoro No. 10 Padang. Setelah meletakan kendaraan, saya menuju loket pembelian tiket masuk. Terlihat ada petugasnya seorang perempuan

Berapa orang bang? Tanya perempuan berhijab merah maron itu.

Kebetulan saya sendiri. Untuk bisa masuk kawasan museum pengunjung dikenakan retribusi sebesar Rp.3.000 untuk dewasa dan Rp. 2.000 untuk anak-anak. Buka Setiap Selasa-Minggu, kecuali Senin. Di sini pengunjung dapat menikmati beberapa arena yang ada mulai dari taman dengan pepohonan yang rindang, momen perjuangan, pesawat peninggalan zaman perang dunia kedua hingga gedung utama museum yang menyimpan berbagai macam koleksi.

Taman Melati, Tempat Bersejarah yang Multifungsi


Salah satu sudut Taman Melati (Koleksi Pribadi | 2018)
Memasuki area museum akan berjumpa langsung taman yang cukup luas dengan pepohonan yang rindang dan menjadi wahana bermain bagi anak-anak. Tempat ini diberi nama Taman Melati. Biasanya taman ini dimanfaatkan oleh anak-anak TK untuk bermain dan belajar di alam. Pasalnya, terdapat wahana permainan yang menyerupai di sekolahnya. 

Setidaknya lebih dari 100 jenis tanaman yang tumbuh subur di kawasan museum yang luasnya 2,5 Ha ini. Taman ini seolah menjadi ‘ruang publik berbayar’ yang dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat terutama para pelajar. Maklum untuk bisa menikmatinya pengunjung harus membeli tiket masuk terlebih dahulu. 

Mengenang Monumen Micheils, Tugu Terbesar dan Tertinggi di Sumatra

Lapangan Micheils (Sumber: KLTIV)
Bila ditengok ke zaman kolonial, taman ini dulnya dikenal dengan nama Lapangan Micheils yang terbuka dan luas. Di sini terdapat sebuah tugu yang bernama Monumen Micheils yang bentuknya mengagumkan, sebab tugu yang memiliki ukuran terbesar dan termegah yang pernah dibuat oleh Belanda di pulau Sumatra. 

Monumen ini didirikan pada tahun 1855 di Michielsplein (Lapangan Michiel). terbuat dari besi tuangan dengan lantai marmer dan full relief di dinding luarnya. Dengan ujung-ujung yang meruncing yang terdiri dari beberapa tingkat, kesan bangunan gotik terlihat.

Dalam blog Minang Lamo dituliskan, dari foto yang ditampilkan pada cover buku karangan Antropolog Belanda Freek Colombijn, dapat kita bandingkan ketinggian Michielsmonument dengan tinggi dua orang Meneer yang berpose ria di depannya. Sekitar 8 kali. Jika ketinggian rata-rata orang Belanda pada waktu itu adalah 180 cm, maka ketinggian monumen ini adalah sekitar 14,4 meter atau setinggi gedung 5 lantai kurang lebih.

Sebenarnya monumen ini dibuat oleh pemerintah Belanda untuk mengenang Mayor Jenderal Andries Victor Michiels yang dianggap berjasa besar dan mempunyai prestasi yang gilang gemilang dalam peperangan besar di tanah Jawa.

Dalam buku Sejarah Kota Padang yang ditulis Drs. Mardanas Safwan dkk, mengambarkan, sebelumnya juga di lapangan ini semenjak abad ke-18 berdiri gereja Protestan, terkenal dengan nama Koepel kerk. Pada Tahun 1885 gereja ini dipindahkan ke Jalan Benteng yang sekarang bernama Jalan Bagindo Aziz Chan. Di utara lapangan Michiels, sekarang di belakang gedung museum, terdapat gedung pengadilan negeri tinggi bernama Raad an Justitie.

Sayangnya Monumen Michiels sudah tidak ada lagi. Kabarnya dihancurkan ketika tentara Jepang tiba dan menjajah Kota Padang. Ada yang menariknya dari Taman Melati ini, memiliki stigma negatif yang berkembang di tengah masyarakat. Pasalnya, tempat ini menjadi salah satu tempat transaksi kaum hidung belang sehingga melekat dicap sebagai lokasi prostitusi terselubung di Kota Padang. Bahkan terkadang juga ada saja pelajar yang memanfaatkan taman ini untuk menjadi tempat pacaran. Meski tanda-tanda peringatan dari pengelola museum sudah ada di berbagai sudut taman ini.

Ke Taman Melati yuk? Ajak seseorang. Kemudian akan dijawab dengan ungkap cemooh yang terkadang menggelikan: Cie-cie mangkal nih! Begitulah kiranya idom dari Taman Melati. Tapi ya sudahlah.

Patung Bagindo Aziz Chan, Pahlawan Nasional Asal Padang


Masih berada di kawasan Taman Melati terdapat satu patung yang tingginya sekitar 3 meter ini mengggambarkan bentuk dari sosok Bagindo Aziz Chan, pahlawan nasional yang juga Walikota Padang berpengaruh di zaman Kolonial Hindia Belanda. Patung ini berada di depan pintu masuk utama museum buah karya pelukis Wisran Hadi dan pemahat Arby Samah.

Sosok Bagindo Aziz Chan ini mendapat perhatian dari pihak Belanda tempo itu, karena kegigihan, keteguhan hati dan semangat juang yang tinggi untuk melawan kolonial membuat pemerintah belanda tidak menyukainya. Bahkan Bagindo Aziz Chan tewas ditembak oleh Belanda akibat kelicikannya membuat isu di sekitar Jalan Jhoni Anwar Padang pada 19 Juli 1947. 

Untuk mengenang Bagindo Aziz Chan, berdiri tugu berbentuk kepalan tangan atau yang lebih dikenal dengan Tugu Simpang Tinju di Kota Padang. Patung kepalanya di depan Kantor Dinas Pendidikan Kota Padang.

Kemudian ada Museum Rumah Kelahairan Bagindo Aziz Chan di Kawasan Alang Laweh Kota Padang, Ada patung bentuk rupa nya secara utuh di Museum Adityawarman Padang dan jasadnya dimakamkan di dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bahagia, Kota Bukittinggi. Selain itu juga, nama Bagindo Aziz Chan diabadikan menjadi nama jalan. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada 7 November 2005 lalu, Bagindo Aziz Chan diberi gelar Pahlawan Nasional.

Melihat Wajah Para Pahlawan Minangkabau di Taman Sari Pahlawan Nasional 

Tamansari Pahlawan Nasionalasal Minangkabau (Koleksi Pribadi | 2018)


Tidak beberapa jauh dari Patung Bagindo Aziz Chan, penunjung dapat melihat Monumen Taman Sari Pahlawan Nasional asal Minangkabau yang masih di kawasan Taman Melati. Monumen ini diprakarsai oleh Yayasan Syarikat Oesaha (YSO) Adabiah Padang dan pemerintah provinsi Sumatra Barat. Diresmikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Drs.Nasrul Abit pada 10 November 2017 lalu. 


Monumen ini memiliki bahan dasar semen konstruksi panel berupa rumah adat Minangkabau dengan ukuran tinggi 3 meter dan lebar 7,5 meter. Panel utama dengan ukuran lebar 6,5 meter, ditambah ke samping kiri dan kanan masing-masing 1 meter. Panel dirancang terbuka dan dapat dikembangkan ke kiri maupun kanan untuk menampung figur pahlawan berikutnya.

Panel utama berisi figur dalam bentuk relief potret 15 pahlawan, yang meliputi Abdul Halim putra daerah dari Kabupaten Agam, Ilyas Yakoub dari Kabupaten Pesisir Selatan, Rasuna Said dari Kabupaten Agam, Tuanku Imam Bonjol dari Pasaman, Mohammad Natsir dari Kabupaten Solok, Abdul Muis dari Kabupaten Agam.

Kemudian Bagindo Azis Chan dari Kota Padang, Adnan Kapau Gani dari Kabupaten Agam, Hamka dari Kabupaten Agam, Tan Malaka dari Kabupaten Limapuluh Kota, Mohammad Hatta dari Kota Bukittinggi, Mohammad Yamin dari Kota Sawahlunto, Agus Salim dari Kabupaten Agam, Sutan Syahrir dari Kota Padang Panjang, dan Hazairin dari Kota Bukittinggi.

Setidaknya Momumen ini sangat tepat ditempatkan di Museum Adityawarman yang menjadi sarana edukasi adat dan budaya Minangkabau. Terutama menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dalam mengenang perjuangan para pahlawan-pahlawan asal Minangkabau dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jangan lupa tetap jaga kebersihan dan menarik juga jika selfie di sini.

Ada Pesawat Perang Dunia II di Padang

Monumen Pesawat Perang Dunia ke-II (Koleksi Pribadi | 2018)
Museum Adityawarman juga menyimpan pesawat hasil perang dunia II yang kabarnya dulu berada di Solok yang kemudian dipindahkan pada tahun 1977 ke sini. Tidak ada hal yang dapat diceritakan dari monumen pesawat ini, tapi ada prasati yang bertuliskan seperti untaian puisi di depan pesawat.

"Aku hanya setitik darah bangsaku, kembangkan sayapku teruskan perjuanganku" Padang 6 April 1979 tertanda Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi.
Monumen Pejuang yang Tidak Dikenal Berlatarkan Atap Gonjong

Monumen Perjuangan yang Tidak Dikenal (Koleksi Pribadi | 2018)

Dari monumen pesawat dapat dilanjutkan ke Monumen Perjuang yang Tidak Dikenal. Di sini terlihat ada patung yang menggambarkan para pejuang yang sedang duduk semabri memegang bambu runcing. Kemudian terdapat prasasti yang bertulisakan puisi juga. Monumen ini dibuat oleh Ramudin tahun 1950.

Monumen Proklamasi

Monumen Proklamasi (Koleksi Pribadi | 2018)

Di belakang monumen perjuangan ini ada Monumen Proklamasi yang berbentuk menyerupai bambu yang diapit dengan tiga bambunya dan terdapat semacam bola dipuncaknya. Bagian bawahnya terdapat relief yang melingkar pada monumen ini, mengaambarkan perjuangan para pahlawan di Kota Padang saat pelawan para penjajah. 

Monumen ini terdapat dua prasasti, pertama bertuliskan teks proklamasi dan kedua bertuliskan deskipsi dari kata Padang dan 9 Maret 1950.

Wajah Museum Aditiyawarman, Gedung Begonjong Ciri khas Minangkabau

Gedung Utama Museum Adityawarman yang berarsitektur Minangkabau (Koleksi Pribadi | 2018)
Setelah menjelajahi satu per satu spot menarik di tempat ini, tiba saatnya melihat lebih dekat museum nagari yang terbesar di Sumatra Barat. Gedungnya memiliki arsitektur khas Minangkabau dengan atap bergonjong yang terdapat anjungannya serta lengkap dengan rangkiang di sisi kiri dan kanan bangunannya.

Museum ini mulai dibangun tahun 1974 dan diresmikan diresmikan 16 Maret 1977 oleh Mendikbud Prof. Dr. Syarif Thayeb. Berdasarkan SK Mendikbud RI No. 01/1991 tanggal 9 Januari 1991, Museum ini diberi nama Adityawarman untuk mengingat jasa seorang raja Minangkabau di abad ke-16.

Pintu Utama Gedung  (Koleksi Pribadi | 2018)
Sengatan terik matahari semakin pedih terasa dan keringat di dahi mulai bercucuran. Sepertinya saya harus bergegas masuk ke dalam museum. Untuk bisa masuk harus menaiki beberapa anak tangga hingga sampai pintu utama gedung. Kemudian pengunjung akan registrasi dan menyerahkan tiket masuk yang telah diberikan saat di gerbang utama.

Museum dengan luas bangunan sekitar 2.854,8 meter persegi ini memiliki dua lantai. Lantai pertama merupakan area utama pameran di museum ini terdapat dua bilik di posisi kiri dan kanan. Biasanya menampilkan diaroma yang menggambarkan sistem adat yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dengan segala pernak perniknya.

Sisi koleksi pameran di lantai satu (Koleksi Pribadi | 2018)
Saat saya berkunjung tepat sedang ada Pameran Sejarah Pers Minangkabau yang akan hingga bulan Juni 2018 mendatang. Saya pun melihat sejarah perkembangan pers nasional, tokoh-tokoh pers asal Sumatra Barat hingga periodesasi terbitan koran tempo dulu yang terbagai menjadi 8 masa. Setidaknya ada 96 koleksi dari 70 koran jadul yang pernah terbit di Ranah Minang ditata apik sedemikian rupa serta ada 13 koleksi penunjang kegiatan pers seperti kamera, mesin ketik dan lainnya.

Dari pameran ini pengunjung dapat mengetahui dan mengenal lebih jauh jika Sumatra Barat itu termasuk daerah yang memiliki literasi yang baik terbukti dengan adanya surat kabar dan tokoh-tokoh yang memiliki andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tentunya di zamannya masing-masing.

Khasanah Koleksi Museum Minangkabau

Khasanah koleksi museum di lantai dasar (Koleksi Pribadi | 2018)
Setelah puas berkeliling dilantai satu ini, saya kemudian turun ke bawah. Satu per satu anak tangga saya lewati hingga tiba di Khasanah Koleksi Museum Minangkabau. Tempat ini menampilkan berbagai macam koleksi Museum Adityawarman memiliki koleksi hampir 6000 yang terdiri dari dari Geologika, Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika/Heraldika, Filolo­gika, Keramologika, Seni Rupa dan Teknalogika. Semuanya tersusun dengan rapih berdasarkan jenisnya sehingga memudahkan pengunjung.


Saya mulai berkeliling melihat satu per satu koleksi di tempat ini mulai dari jenis-jenis pakaian adat dari 19 kabupaten kota di Sumatra Barat, hewan endemik asal Ranah Minang, pekakas keseharian, alat berburu, keramik langka, hingga ada koleksi naskah-naskah kuno yang berisi tentang ajaran agama Islam, pengobatan, azimat, cerita adat istiadat dan cerita masyarakat. 

Di samping itu juga ada studio mini yang didalamnya terdapat film sejarah dan pembelajaran bagi pengunjung khususnya dari pelajar TK dan SD. Letaknya di lantai dasar dekat dengan tangga.

Taman Purbakala Zaman Prasejarah

Taman Purbakala (Koleksi Pribadi | 2018)

Keluar dari rumah bergonjong akan disambut dengan taman yang asri dengan arca dan prasasti zaman megalitikum dan kerajaan yang pernah berkembang di Sumatra Barat. Bagi saya hal yang menarik di museum ini adalah adanya koleksi naskah kuno, replika peninggalan zaman megalitikum dan khasanah arsitektur Minangkabau.

Di taman yang tidak begitu luas ini pengunjung dapat melihat replika bentuk menhir yang merupakan peninggalan zaman prasejarah yang terbuat dari batu dan digunakan sebagai pemujaan roh nenek moyang. Menhir ini diadopsi dari bentuk menhir yang ada di Nagari Mahek Kabupaten Limapuluhkota yang dikenal dengan lumbungnya situs purbakala di Minagkabau.


Menhir  (Koleksi Pribadi | 2018)
Ada juga replika Arca Bhairwa yang menggambarkan Bhairawa atau suatu dewa-raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana sebagai pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan.

Arca ini dikaitkan sebagai perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra. Di samping itu ada juga replika arca Amoghapasa peninggalan Kerajaan Dharmasraya, sebuah kerajaan yang pernah berdiri sebelum Kerajaan Pagaruyung/ Malayupura.

Archa Bahirwa (Koleksi Pribadi | 2018)
Prasasti Saruaso I (Koleksi Pribadi | 2018)
Kemudian terdapat replika Prasasti Saruaso I merupakan salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Adityawarman yang berangka tahun 1297 Åž atau 1375 M. Prasasti ini berisi upacara pentasbihan Raja Adityawarman sebagai seorang penganut Buddha Mahayana sekte Bairawa sebagai wisesa dharani (salah satu perwujudan Buddha) di kuburan yang disebut surawasan atau sekarang menjadi Nagari Saruaso, Kabupaten Tanah Datar.

Dari taman purbakala dan prasasti ini pengunjung dapat belajar dan mengenal bentuk-bentuk peninggalan zaman prasejarah dan kerajaan yang tumbuh berkemang di Sumatra Barat. Mungkin jika ada lebih banyak lagi jenis prasasti, arca atau menhir yang ditampilkan akan lebih menarik.

Melihat Keunikan Arsitektur Tradisional Minangkabau

Minatur berbagai macam rumah tradisional di Minangkabau (Koleksi Pribadi | 2018)
Dari taman ini saya melanjutkan penjelajahan melihat keunikan arsitektur tradisional yang ada di Minangkabau. Tidak dipungkiri Sumatra Barat itu mempunya ragam bentuk arsitektur baik rumah adat, masjid dan surau hingga ukiran-ukiran yang menarik. Di Museum Adityawarman ini dapat dilihat secara garis besarnya tapi sudah mewakili.

Miniatur masjid dan pekakas yang digunakan dalam membangun rumah gadang (Koleksi Pribadi | 2018)
Di sini saya melihat miniatur bentuk Surau Lubuak Bauk yang unik dan pernah menjadi lokasi syuting film. Kemudian ada miniatur berbagai jenis rumah gadang yang ada di Ranah Minang mulai bentuk arsitektur khas di dataran tinggi hingga kawasan pesisir.

Sebagai informasi, tiap daerah di Sumatra Barat ini memiliki bentuk rumah adat yang berbeda hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan setempat dan tipologi alamnya. Kalo untuk Kota Padang dikenal dengan Rumah Adat Kajang Padati. Tempat ini menarik bagi saya.

Serba Serbi Mentawai, Negeri Elok yang Mempesona.

Galeri Pameran Budaya Suku Mentawai (Koleksi Pribadi | 2018)
Tidak salah Museum Adityawarman ini disebut sebagai Taman Mininya Sumatra Barat, karena hampir semua aspek ditampilkan di sini. Salah satunya Galeri Pameran Kebudayaan Suku Mentawai. Bagi saya, Mentawai merupakan daerah yang mempesona penuh dengan keunikan, alam eksotik dan tentunya berbeda dari tempat lainnya di Sumatra Barat.

Suku Mentawai berbeda dengan Suku Minangkabau, mulai dari budaya dan adat istiadatanya, tapi kedua suku ini masih dalam satu wilayah di provinsi Sumatra Barat. Dari galeri ini, saya dapat melihat foto-foto kehidupan masyarakat asli di Kepulauan Mentawai. Ada peralatan masak, berburu, hewan endmik hingga rumah adatnya. Menariknya tato yang ada di Mentawai ini termasuk tertua di dunia.

Berbagai macam barang-barang dan foto dari masyarakat suku asli Mentawai (Koleksi Pribadi | 2018)
Setelah dari galeri suku Mentawai ini, saya melanjutkan ke Museum Gempa 30 September 2009 tapi tidak akan saya bahas dalam tulisan ini. Setidaknya dengan berkeliling ke Museum Adityawarman ini dapat memperkaya khasanah keranahminangan terutama bagi generasi muda yang masih minim untuk berkunjung ke museum. Berhubung sudah memasuki salat Asar saya pun keluar dari gedung dan menuju tempat parkir untuk segera pulang ke rumah.

Nah, sudahkah kita mengunjungi museum? Ayo ke Museum!

——————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel