Rumah Kelahiran Tan Malaka dan Jejak Bapak Bangsa Asal Pedalaman Minangkabau

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Sepulangnya dari Koto Tinggi kami langsung tancap gas ke Kota Payakumbuh. Perlahan langit gelap menyingkir selama perjalanan, sesekali sinar matahari mulai tampak. Perbukitan masih tampak menarik sepanjang mata memandang.

"Dik, nggak mau makan apa? Kuat banget kita selama explore nggak makan," celotehku sambari tertawa kepada Andika Pamungkas, sapaannya Dika.

"Mau makan apa emangnya bang?" balasnya Dika sambil menggendari motor dengan laju rata-rata 80 km/jam. 

"Bebas saja. Pokoknya makan berat aja," jawabku.

Selama perjalanan ini dipandu oleh Dika, ada juga Gilang dan Celsi yang juga ikut dalam penjelajahan menyusuri khasanah kebudayaan Minangkabau di Luak Limopuluh.

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Hampir saja terlewat. Dika memberhentikan laju motornya. Terpampang spanduk yang bertuliskan “Rumah Tan Malaka Museum dan Pustaka” yang tertempel pada dinding rumah penduduk. Tidak ada kata yang terlontar hanya diam dan bersyukur dalam hati. Akhirnya tiba di rumah kecilnya Tan Malaka.

Dika sempat bertanya ke pemilik rumah apakah museumnya boleh dikunjungi mengingat kami tiba sudah sore. Ternyata bebas saja dan tidak ada jadwal kunjungan yang penting selagi ada petugas yang memegang kunci rumahnya. 

Rumah Kelahiran Tan Malaka
Rumah Kelahiran Tan Malaka

"Wah, nan mamaciak kunci ndak ado do, sadang kalua. Ko nio mancaliak masuk se ka dalam ndak baa do," ungkap ibu-ibu itu dengan logat Minangkabau khas Limapuluhkota.

Yowes kami langsung masuk ke area Rumah Kelahiran Tan Malaka. Lokasinya tidak sulit dekat dengan jalan raya. Tidak ada gerbang masuknya dan petunjuk arahnya sehingga terkadang tak terlihat. Dari jalan raya ke rumahnya harus menurun sedikit, posisinya rumah lebih rendah dari jalan raya. Masih jalan tanah tidak rata tapi bisa dilalui oleh mobil bus mini. 

Keheningan di Rumah Kelahiran Tan Malaka

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Kami pun meletakan motor di area samping rumah agar saat mendokumentasikan tidak bocor. Dalam momen ini saya tidak akan menceritakan banyak sosoknya, dari buku biografi Tan Malaka bisa ditelusuri tapi saya akan lebih banyak mengulas pengalaman saya ketika menyusuri jejaknya. 

Tan Malaka merupakan pahlawan nasional yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Bicara Tan Malaka itu sangat rumit dan panjang. Sosok Tan Malaka sangat fenomenal dikalangan Bapak Bangsa (Founding Fathers) Indonesia lainnya, sangat misterius dan revolusioner. 

Tan Malaka banyak melahirkan buah pikirannya. Semuanya itu telah dibukukan, seperti yang terkenal berjudul Mandilog dan Gerpolek. Bahkan Tan Malaka adalah tokoh pertama yang mengungkapkan konsep negara Indonesia. 

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Menyusuri jejak Tan Malaka dapat dimulai dari rumah kelahirannya. Secara administrasi beralamat di Jalan Tan Malaka, Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatra Barat.

Di rumah ini, Tan Malaka banyak menghabiskan waktu kecilnya sebelum merantau untuk melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool/Sekolah Raja di Kota Bukittinggi, sekarang SMAN 2 Bukittinggi dikenal juga sebagai sekolah Tan Malaka.

Perjalanan ke sini banyak memakan waktu dan cukup jauh dari Kota Padang, saya menginap di Kota Payakumbuh dulu kemudian dilanjutkan lagi ke Kabupaten Limapuluhkota. Jika dihitung-hitung bisa memakan waktu 6 jam.

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Dari tempat parkir ini langsung terlihat patung Tan Malaka yang terbuat dari kuningan berwarna merah keemasan dengan pondasi berwarna cat kuning. Patung ini dibuat atas prakarsa oleh Dr. Fadli Zon, S.S., M.Sc.

Depan rumahnya terdapat tiga makam yang merupakan pusara keluarga Tan Malaka. Sebelah kiri makam ayahnya, di tengah makam Tan Malaka, dan sebelah kanan makam ibunya. Makam Tan Malaka ini baru dipindahkan juga tapi tidak seutuhnya hanya membawa bongkahan tanah dari pusara terakhirnya di Kediri, Jawa Timur pada 21 Februari 2017 lalu.

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Rumah Kelahiran Tan Malaka ini sangat sederhana, full colour, dan klasik dengan gaya arsitektur vernacular khas Luak Limopuluah. Di bangun tahun 1936 dengan luas rumah sekitar 18 x 11 meter. Terakhir dihuni tahun 1998 dan keluarga telah memutuskan untuk menjadikan rumah ini sebagai museum mini sejak 21 Februari 2008 dan bisa dinikmati hingga saat ini. 

Nuansa pedesaan sangat terasa sekali, halaman rumahnya sangat luas, asri, sekelilingnya ladang masyarakat dan jarak dari rumah ke rumah cukup berjauhan. Sepi yang terasa jika telah sampai ke sini. Vibe-nya Rumah Kelahiran Tan Malaka ini sangat kuat sekali, ada keheningan dan power yang tidak bisa diungkapkan. Jawabannya bisa dirasakan dan ditemui jika sudah bertandang ke sini. 

Room Tour Rumah Kelahiran Tan Malaka

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Dika sempat mencoba membuka pintu rumah tapi ternyata dikunci. Kecewa sih, untungnya tidak hujan dan cuacanya cukup cerah sore itu. Saya hanya memperhatikan sekeliling rumah sembari sesekali motret dan buat video singkat. Kami masih di pekarangan rumah berbincang soal rumah ini, pas sekali di area makam.

Tiba-tiba ada pria sekitar umur 40 tahunan menyahut ke arah kami dan menyampaikan kabar gembira kalo rumahnya itu memang tidak dikunci. Saya pun senang sekali dan kami bergegas masuk ke dalam. Kata Dika, sebenernya sudah ia pastikan kalo rumah itu memang terkunci tapi ya sudahlah hihihiihihii 

Buka dulu sandal dan sepatunya, kami masuk dan menyapai seisi rumah. Gelap dan berdebu itulah kesam pertama saat masuk ke ruang tamu, bisa jadi. Ada meja isi buku pengunjung dan ada lemari pajangan buku. Terlihat juga ada beberapa pekakas yang terletak di sudut ruangan. Sekali lagi berdebu.

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Dari luar terdengar suara hidupkan saja lampunya. Saya pun pencari kontak lampunya dan membuka jendela agar terlihat terang. Rumah ini cukup gelap. Dari ruangan pertama ini lanjut masuk ke ruangan utama yang lepas dan cukup luas. Wow! dalam hati saya cukup berteriak.

Dari pintu ke pintu saya tertuju pada foto Tan Malaka saat muda. Satu per satu kaki melangkah, satu per satu suara derik lantai kayu terdengar. Namanya juga rumah kayu. Di sini akan terlihat koleksi foto-foto Tan Malaka yang dipigura dengan ukuran besar dan kecil. 

Ada juga daftar ranji keturuan datuk Tan Malaka dari ninik mamak turun temurun yang bertali darah. Terpajang juga foto datuk bergelar Tan Malaka. Ini berada di posisi dinding tengah ruangan.

Rumah Kelahiran Tan Malaka
Rumah Kelahiran Tan Malaka

Di posisi dekat pintu ada juga koleksi foto lainnya dan satu lemari pajangan buku kecil. Di sini saya melihat momen ketika cahaya masuk dari jendela yang terbuka ke ruangan yang posisinya dekat foto Tan Malaka. Ia beropse cukup “sangar” bersafari, ada catatan pada fotonya, Tan Malaka di Jogjakarta Oktober 1948. Saya pun memutuskan untuk berfoto di sudut ini dengan momen tersebut. Epik banget!

"Dik, fotoin dulu di sini!"

Di tengah menikmati suasana dan mengabadikan gambar, teman kami meminta untuk segera turun ke bawah, entah alasannya kenapa. Ia pun turun lebih dahulu. Saya melanjutkan berpetualang menyusuri isi Rumah Kelahiran Tan Malaka ini.


Di sisi dekat jendela tidak banyak pajangan hanya berupa catatan-catatan Tan Malaka dan dua foto. Kemudian di sudut sebelahnya terdapat lemari pajangan buku dan jurnal, ada pajangan quote tokoh bangsa, foto Tan Malaka yang besar, foto Tan Malaka bersama Bung Karno pada rapat akbar 19 September 1945 di Monas sumbangan Keluarga Amdi A.AM.

Selain koleksi foto, sudut ini juga ada satu lembari pakaian, satu dipan besi beserta kasurnya, beberapa helai pakaian lama, satu kursi rotan dan meja pajangan yang di atasnya ada kotak klasik, lampu kuno hingga pajangan lainnya. Sebelahnya ada satu belanga dan 9 talempong.

Rumah Kelahiran Tan Malaka
Rumah Kelahiran Tan Malaka

“Udah yuk, kita turun lagi,” ujar teman dari luar rumah.

Sebenernya belum puas, apa daya perut sudah keroncongan sekali dan juga belum salat Asar. Saya terakhir keluar dari rumah, jendela dan lampu sudah dimatikan, seperti kondisi awal kami masuk ke dalam.

Ada aura yang berbeda saat bertandang ke Rumah Kelahiran Tan Malaka ini, entah karena sosoknya yang kuat atau suasana langit kala itu sedang sendu-sendunya. Pejalanan kali ini sangat berbeda dan memberikan pengalaman yang luar biasa.

Rumah Kelahiran Tan Malaka Menunggu Sentuhan Lagi

Rumah Kelahiran Tan Malaka

Jika ditelisik lebih, rumah ini ternyata telah direnovasi tahun 2019 lalu, terlihat pada atap sengnya yang masih baru, dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang masih menguning dan tampilan muka bangunannya yang terbuat dari papan masih mulus dan penuh warna. Di dalamnya juga terlihat dinding yang berukir dan tiangnya masih mengkilap.

Rumah Kelahiran Tan Malaka itu masih berdiri kokoh, sangat menarik, dapat dikunjungi setiap saat dengan pekarangan yang asri dan penuh ketenangan. Sayangnya, rumah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini kurang begitu terawat. Memang tidak banyak informasi yang saya dapatkan soal rumah ini.

Rumah Kelahiran Tan Malaka
Rumah Kelahiran Tan Malaka

Terpikir, kenapa rumahnya ini tidak begitu memingkat banyak kalangan, atau mungkin karena jejaknya memang telah terkubur. Padahal Tan Malaka di sini banyak belajar ilmu agama dan memperoleh kedudukan adat yang tinggi di kampungnya.

Pokoknya, sedih sekali melihat kondisinya. Saya lebih banyak menghela napas dan berguyam dalam hati. Jadi ingat salah satu quote Tan Malaka yang berbunyi: 

"Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi."

Jadi, jika ditanya mau berkunjung lagi ke Rumah Kelahiran Tan Malaka, saya akan menjawabanya MAU!
——————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel