Fort de Kock dan Fort Van der Capellen Jejak Benteng Kolonial di Minangkabau


Beberapa daerah di Sumatra Barat pernah berdiri benteng pertahan zaman Belanda dan jejaknya masih terlihat hingga saat ini. Keberadaan benteng ini menjadi infrastruktrur yang vital bagi Belanda saat menginjakan kakinya di Indonesia. 

Pasca bubarnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 31 Desember 1799 itu, semua aktivitas perdaganan dan seluruh asetnya diambil oleh Pemerintah Hindia Belanda, termasuk juga benteng. Sayangnya, sisa-sisa benteng VOC di Sumara Barat tidak terlihat jejaknya hingga saat ini, kecuali di Pulau Cingkuak, Kabupaten Pesisir Selatan.

Keberadaan Benteng Hinda Belanda ini untuk memuluskan misinya menguasai dan menduduki Ranah Minang, terutama sejak meleteusnya Perang Padri di Minangkabau pada tahun 1803-1838. Berikut ini benteng-benteng penginggalan zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Minangkabau:

1. Fort de Kock di Kota Bukittinggi

Fort de Kock Tahun 1826 (sumber: KLTIV)
Kota Bukittinggi, Sumatra Barat yang dulunya bernama Fort de Kock ini, tumbuh dan berkembang di sekitar kawasan benteng yang dibangun oleh Pemerintahan Kolonial Hindia pada tahun 1825. Benteng ini didirikan oleh Hendrik Merkus Baron de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Benteng ini berdiri atas Bukit Jirek yang berada di ketinggian 958 mdpl.

Benteng ini telah ditetapkan sebagai banguanan cagar budaya dengan nomor inventaris 01/BCB-TB/A/02/2007 dan RNCB.20100622.02.000567 dengan SK Penetapan Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010.


Secara fisik bangunan benteng di lokasi ini sudah tidak ada. Bangunan yang tersisa hanya berupa bangunan bak air dengan denah persegi empat yang memiliki ketinggian 20 m. Areal bekas benteng dibatasi oleh parit melingkar sedalam 1 m dan lebar sekitar 3 m. 

Salah satu peninggalan yang masih berhubungan dengan benteng adalah delapan buah meriam besi yang dipasang di sekeliling areal bekas benteng dengan panjang antara 116-280 cm. Salah satu meriam tersebut terdapat inskripsi yang menunjukkan angka tahun 1813. 

Semasa itu, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan yang disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Pembangunan benteng ini sebagai tempat pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi.

Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer dengan membuat benteng. Nama lainnya Sterreschans yang artinya benteng pelindung. 

Benteng ini juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatra Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap wilayah Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. 

Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, menjadi tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. 

Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananya mengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. 

Saat ini Benteng Fort de Kock masuk ke dalam kawasan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang, terutama sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh Pemerintah Kota Bukittinggi.

Baca: Sekilas Sejarah Kota Padang dan Kawasan Kota Tua Padang

2. Fort Van der Capellen di Kabupaten Tanah Datar


 Fort Van der Capellen Tahun 1826 (sumber: Tropem Museum)
Selama Perang Paderi, pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga membuat sebuah benteng di Kampung Baru, Nagari Baringin, Kecamatan Lima kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Benteng ini bernama Fort Van der Capellen yang dibangun tahun 1821 sebelum Benteng Fort de Kork di Kota Bukittinggi. Nama benteng ini diambil dari nama seorang Jenderal Hindia Belanda saat itu yaitu Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen. 

Fort Van der Capellen berada di atas bukit, benteng ini merupakan bangunan gedung beton dengan ketebalan dinding 42 cm dan beratapkan genteng. Bangunan benteng ini berukuran panjang 14 m, dan lebar 12 m (ukuran bangunan depan) dan berdenah persegi empat. Luas area benteng secara keseluruhan 8880 m2 dan luas bangunan benteng 22 x 22 m2. 

Pintu masuk terdapat pada bagian depan berbentuk lengkung. Sementara di sebelah kiri dan kanannya terdapat dua buah bangunan yang membujur ke belakang dan ditutupi dengan bangunan berlantai dua di mana lantai duanya terbuat dari kayu (tidak asli).

Van der Capellen Tahun 1826 (sumber: Tropem Museum)
Benteng Van der Capellen merupakan 4 buah bangunan yang disatukan, hal ini terlihat jelas dengan adanya bangunan di belakang sehingga bangunan berbentuk huruf U menjadi bangunan berbentuk empat persegi. Pada bagian muka benteng, sebelah kiri dan kanan pintu masuk, terdapat masing-masing 1 buah meriam belanda yang diberi kedudukan pasangan batu kali. Bangunan ini didirikan di atas pondasi batu kali.

Dengan adanya benteng pertahanan yang permanen dan strategis, maka secara militer dan politis memudahkan Belanda untuk menguasai wilayah sekitar kawasan Tanah Datar dan sekitarnya. Pasca Perang Padri berkembang menjadi Operasi Militer Belanda. Kenyataan demikian menyadarkan Kaum adat yang semula mengizinkan Belanda untuk masuk ke Tanah Datar. Keberadaan Belanda di Batusangkar sampai saat meletusnya Perang Dunia II. 

Pada saat Jepang berhasil merebut Sumatra Barat kemudian Belanda meniggalkan Batusangkar. Benteng Van der Capellen kemudian dikuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari tahun 1943-1945. Setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari pendudukan Jepang, Benteng Van der Capellen kemudian dikuasai oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sampai tahun 1947. Pada waktu Agresi Belanda II, Benteng Van der Capellen kembali dikuasai Belanda pada tahun 1948-1950.

Fort van der Capellen Tahun 1895 (sumber: Tropen Museum)

Setelah Belanda meninggalkan Batusangkar, Benteng Van der Capellen kemudian dimanfaatkan oleh PTPG yang merupakan cikal bakal IKIP Padang sekarang Universitas Negeri Padang hingga tahun 1955 dan pada tahun itu juga PTPG dipindahkan ke Bukit Gombak. 

Benteng Van der Capellen kemudian dijadikan sebagai markas Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pada saat meletus peristiwa PRRI tahun 1957, Benteng Van der Capellen dikuasai oleh Batalyon 439 Diponegoro yang kemudian diserahkan kepada Polri pada tanggal 25 Mei 1960. Beberapa perubahan bangunan, antara lain atap yang semula berupa atap genteng diganti dengan atap seng pada tahun 1974. Pada tahun 1984 dilakukan penambahan ruangan untuk serse dan dibangun pula TK Bhayangkari.

Alun-alun, Fort van der Capellen Tahun 1938 (sumber: Tropen Museum)
Parit yang masih ada disebelah kanan dan kiri bangunan benteng ditimbun dan diratakan pada tahun 1986. Selain itu, ruangan sel tahanan yang semula terdiri dari 4 ruangan, dibongkar satu sehingga tinggal menjadi 3 ruangan. Perubahan bangunan terakhir kalinya terjadi pada tahun 1988, yaitu berupa penambahan bangunan kantin dan bangunan untuk gudang. 

Kemudian ditetapkan sebagai Markas Komando Resort Kepolisian (Polres) Tanah Datar dan berlanjut hingga tahun 2000. Sejak tahun 2001, Benteng Van der Capellen dikosongkan karena Polres Tanah Datar telah pindah ke bangunan baru yang berada di Pagaruyung. 

Pada tahun 2008-2009 bangunan Benteng Van der Capellen telah direnovasi kebentuk aslinya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Saat ini Benteng Van der Capellen menjadi Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar.


Benteng Fort de Kock dan Fort Van der Capellen merupakan peninggalan bangunan cagar budaya pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang di Sumatra Barat. Keberadaan benteng ini menunjukan eksitensi kekuasaan daerah jajahan dan perlawanan masyarakat setempat akan kehadiran bangsa asing yang membawa misi kolonialisme dan imprealisme. Terutama ketika gejolak Perang Paderi di Minangkabau yang melibatkan berbagai kalangan. Kehadiran Benteng Hindia Belanda ini seakan menjadi jejak dan saksi bisunya.

Di samping itu juga di sekitar benteng ini juga menjadi titik awal mula berkembangnya suatu kota, seperti benteng di Kota Bukittinggi dan di Kabupaten Tanah Datar ini. Benteng yang pada mulanya terbatas pada fungsi sebagai sarana pertahanan ini, kemudian mengalami perubahan peran dan fungsi seiring dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan kota tersebut. Terutama untuk di dataran tinggi, pembangunan benteng untuk mendukung tujuan politik kolonial yang akan lebih mempertimbangkan lokasi strategis politis atau militer.

Refrensi:
1.  Balai Pelestarian Cagari Budaya (BPCB) Batusangkar.
2.Djoko Marihandono (2008). “Perubahan Peran Dan Fungsi Benteng Dalam Tata Ruang Kota". Jurnal Wacana, Vol. 10 No. 1, April 2008 (144—160).
——————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel