Masjid Kurang Aso 60 Sangat Unik dan Penuh Makna di Nagari 4 Raja



Bercerita tentang Kabupaten Solok Selatan tidak akan bisa dilepaskan dengan keberadaan sebuah masjid yang menjadi saksi sejarah perkembangan daerah ini​ tempo dulu. Masjid Kurang Aso 60 namanya. Berada di Nagari Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan. Jika dari Muaro Labuah sekitar 15 menit atau dari Padang Aro 30 menit. sedangkan dari Kota Padang sekitar 4 jam berkendara.

Berkunjung ke daerah Nagari Saribu Rumah Gadang Ini tidak melulu pergi ke alamnya, tapi bisa lebih mendalami lagi khasanah peninggalan sejarah dan budaya yang dimilikinya. Masjid Kurang Aso 60 ini ini mempunyai peranan yang penting dalam penyebaran agama Islam dan kehidupan bermasyarakat, terutama bagi Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu dengan 4 raja yang memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing.

Ketika sudah tiba di Kabupaten Solok Selatan, saya dan teman-teman dari Blogger Palanta mulanya akan singgah terlebih dahulu ke masjid ini, tapi mengingat tidak ada orang yang bisa menceritakan kisahnya perjalanan dilanjutkan ke Kawasan Seribu Rumah Gadang. Akhirnya saat perjalanan pulang ke Padang kami berkunjung ke Masjid Kurang Aso 60 ini.

Kisah Perjalanan 60 Nenek Moyang Solok Selatan

Masjid Kurang Aso 60 Tahun 1900-an. (sumber: Tropemmuseum)

Nama masjid ini mengisahkan perjalanan 60 nenek moyang (Penghulu Induk/Nyinyiak) masyarakat Solok Selatan yang mula berkelana dari Kerajaan Pagruyuang di Batusangkar. Kemudian membuka pemukiman baru hingga lahirnya Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu yang sekarang menjadi bagian wilayah Kabupaten Solok Selatan.

Suatu ketika dalam perjalanan menuju Lakuak Banda Lakun, ada satu pemuka adat ini wafat sehingga berkurang jumlah anggotanya menjadi 59 atau dikenal dengan 60-1 yang kemudian direpresentasikan di dalam jumlah tiang yang ada pada masjid ini. Masyarakat setempat silih berganti bergotong royong untuk membangun masjid ini yang digagas oleh Angku Syekh Maulana Sofi, ulama ternama yang mensyiarkan ajaran agama Islam di Alam Surambi Sungai Pagu.

Arsitektur Masjid Kurang Aso 60


Masjid Kurang Aso 60 Tahun 1990-an. (sumber: BPCB Batusangkar)

Masjid Kurang Aso 60 ini merupakan masjid tertua di Kabupaten Solok Selatan yang  dikabarkan telah berumur lebih dari 400 tahun, sekitar abad ke-15.  Berdasarkan informasi dari Ibu Nuraini (±76 tahun), suku Jambak-Koto Anyir, masjid ini telah ada sebelum tahun 1733 M, karena rumah gadang beliau (kaum Inyiak Talanai) dibuat pada tahun 1733 M, sedangkan masjid tersebut pada waktu itu telah ada menurut tutur Nenek beliau.

Begitu juga kalau dilihat keberadaan makam Syech Maulana Sofi, seorang ulama besar di Sungai Pagu yang hidup antara tahun 1730 s.d tahun 1818 M, posisi makam beliau terletak di mihrab Masjid, berarti masjid ini telah ada sebelum keberadaan beliau.  

Masjid Kurang Aso 60 (2017 | Koleksi Pribadi)

Saya pun memandang-mandang masjid ini dari luar. Bila dilihat dari bentuknya menyerupai bentuk Masjid Tuo Kayu Jao Solok dan Surau Atok Ijuk Sincin. Terilihat dari dimensi bentuknya yang persegi dan atapnya yang bertumpak tiga. 

Bentuk Masjid Kurang Aso 60 persegi dengan ukuran sisinya 17 m  dengan 3 lantai yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Di kanan depan bangunan masjid yang menghadap ke timur terdapat bangunan kecil tempat bedug. Denah rumah ini persegi panjang dengan ukuran 2 x 3 m.
  
Saya sedikit terlambat masuk ke masjid, karena mengambil gambar dari beberapa sudut masjid ini, sedangkan teman-teman lainnya sudah berada di dalam. Saat masuk saya langsung berada di lantai satu yang merupakan ruang utama beribadah.

Banyak tiang-tiang di dalamnya dan dari lantai satu ke lantai dua tingginya sekitar 2 m. Ada juga mimbar kuno yang kabarnya itu masih asli. Kemudian saya mencoba melihat ke lantai dua. Kondisinya kosong saja tidak ada barang-barang. Lanjut ke lantai tiga, saya lihat hal serupa juga seperti di lantai dua. Masjid ini terlihat baru saja diperbaiki, pasalnya lantai, jendela, dan dindingnya yang terbuat dari kayu yang masih baru dan berwarna coklat kekuningan.

Mimbar di Masjid Kurang Aso 60 (2017 | Koleksi Pribadi)
Suasana lantai dua Masjid Kurang Aso 60 (2017 | Koleksi Pribadi)

Arsitektur masjidnya merupakan perpaduan budaya Jawa, Tiongkok dan Minangkabau. Hal ini terilihat dari atapnya yang berbentuk joglo yang memiliki model campuran Arsitektur Hindu-Jawa. Atap berbentuk limas bersusun tiga ini dulu menggunakan ijuk, tapi sekarang telah diganti dengan atap seng.

Kemudian bentuk  lengkung  jurai atapnya menyerupai bentuk kelenteng  khas negeri tirai bambu. Ada juga bentuk atap, mihrab dan susunan tonggaknya yang merupakan bagian dari pola arsitektur tradisional Minangkabau. Begitu juga di antara atapnya terdapat ukiran khas Minangkabau.


Masjid Kurang Aso 60 dengan Segala Falsafah dan Maknanya

Tampilan depan Masjid Kurang Aso 60 (2017 | Koleksi Pribadi)

Memang tiap bentuk bangunan dari masjid sarat akan maknanya, begitu juga dengan Masjid Kurang Aso 60 ini yang memiliki nilai filosofis yang mendalam karena dibangun oleh kaum adat dan kaum ulama. Disamping sebagai tempat ibadah juga dipergunakan sebagai tempat upacara adat, seperti upacara makan-makan turun ke sawah-mambantai kabau nan gadang. 

Mulai dari ukuran masjid 17 m adalah melambangkan jumlah rakaat salat wajib dalam sehari-semalam. Lantai masjid terdiri dari 3 tingkat melambangkan tingkatan ajaran Islam, yaitu syari’at, hakikat, dan ma’rifat. Dari lantai dasar naik ke lantai satu disediakan tangga kayu yang dapat digunakan oleh semua orang, jumlah anak tangganya sebanyak 6 buah, melambangkan rukun iman. 

Sedangkan untuk naik dari lantai satu ke lantai dua tidak disediakan tangga, yang ada hanya berupa kayu yang ditekuk pada Tonggak Machu, ini melambangkan usaha, bahwa untuk sampai ke tingkat ma’rifat seseorang harus tekun dan berusaha serius untuk mencapainya. Jumlah tekukan kayu di Tonggak Machu berjumlah 5 buah, melambangkan rukun Islam.

Penampakan bentuk atap masjid (2017 | Koleksi Pribadi)

Kemudian atap berbentuk limas bersusun tiga, melambangkan susunan masyarakat adat di Alam Surambi Sungai Pagu yang terdiri dari Suku, Paruik dan Anak Paruik, sedangkan atap mihrab berbentuk puncak rumah gadang melambangkan adat Minangkabau.

Pintu masjid berjumlah 3 buah, pintu utama terdapat di depan menghadap ke halaman, dua buah pintu lagi terdapat disisi Utara dan Selatan. Pintu utama adalah tempat masuk tamu dan rajo, sedangkan pintu sebelah Utara tempat masuk suku Melayu dan Panai, pintu sebelah Selatan tempat masuk suku Kampai dan Tigo Lareh Bakapanjangan. Aturan ini hanya berlaku apabila berlangsung upacara adat. 

Pintu utama letaknya tidak simetris tapi agak berat ke utara, melambangkan sejarah keberadaan suku Melayu sebagai pendahulu suku. Pintu utama terdiri dari dua gerbang, melambangkan Dua Balahan Gadang suku yang ada di Sungai Pagu.

Pada bagian tingkok/jendela, pada lantai dasar di dinding bagian depan terdapat 5 buah tingkok, 2 tingkok disisi utara pintu utama melambangkan rakaat salat Subuh, sedangkan 3 tingkok disisi selatan pintu utama melambangkan rakaat salat Magrib. Subuh dipagi hari, Magrib di sore hari digambarkan pada arah dari utara ke selatan, juga melambangkan sejarah keberadaan suku Melayu sebagai pendahulu suku yang ada. 

Suasana di lantai tiga masjid (2017 | Koleksi Pribadi)

Begitu juga tingkok yang terdapat di kedua sisi dinding utara dan selatan masing-masing berjumlah 5 buah, juga melambangkan rotasi kehidupan manusia, waktu Subuh dan Magrib berakhir ke arah mihrab. 

Pada lantai 2 di dinding bagian depan terdapat 4 tingkok, begitu juga di dinding sisi utara dan sisi selatan, ini melambangkan 4 rakaat salat wajib seperti, Zuhur, Ashar dan Isya. Pada lantai tiga terdapat dua tingkok melambangkan rakaat Salat Sunnah. Sedangkan satu tingkok yang terdapat di tingkat kubah yang dipergunakan tempat azan, melambangkan ketauhidan ke Esa-an Allah SWT.

Bagian kubah yang terdapat paling atas, terletak di atas tiga undakan atap limas melambangkan Rajo Nan Barampek Sedaulat. Kubah ini diletakkan di atas ujung tonggak Machu, melambangkan pucuak bulek urek tunggang, bahwa Rajo Nan Barampek adalah berfungsi sebagai pucuk/pimpinan adat pada setiap sukunya. 

Ukiran khas Minangkabau (2017 | Koleksi Pribadi)

Di keempat sudut atap kubah terdapat sondak langik/tiang bubungan sebanyak 4 buah, 2 buah berbentuk bulat dan 2 buah berbentuk runcing, melambangkan 2 Balahan Gadang Suku yang menggunakan paham kelarasan Koto-Piliang (digambarkan runcing) dan Bodi-Caniago (digambarkan bulat).

Ruang pada masjid ini secara garis besar dibagi atas 6 bagian memanjang ke arah mihrab yang dibatasi oleh tonggak, 2 bagian ruang sisi utara adalah tempat duduk suku Melayu dan Panai, 2 bagian ruang sisi Selatan tempat duduk suku Kampai dan Tigo Lapeh Bakapanjangan. Sedangkan 2 ruang yang ada di bagian tengah diperuntukan untuk duduk tamu. Aturan ini berlaku apabila berlangsung upacara adat.

Tonggak Machu dan Mitosnya.

Tiang utama masjid atau Tonggak Machu (2017 | Koleksi Pribadi)

Dedet pernah bercerita ada hal yang menarik dari Masjid Kurang Aso 60 ini, selain dari namanya memiliki sejarah tersendiri, ada juga tiang utamanya yang memiliki mitosnya. Tiang pada masjid ini berjumlah 59 buah. Semua tiangnya masih asli, tidak ada ukiran polos saja dan beberapa bagian tiang ada yang ditambal. Pada bagian tengah terdapat tiang yang ukurannya paling besar disebut tonggak Machu (Mercu). 

Tonggak Machu yang ada pada masjid ini berasal dari sebatang pohon Juagh (Johar) yang ditebang di puncak bukit seberang Batang Suliti dan ditarik ke lokasi secara gotong royong berikut dahan dan daunnya. 

Terdapat cerita, pada suatu kali Tonggak Macu ini bergetar dengan hebat, sehingga orang yang sedang beribadah di dalamnya keluar erhamburan karena ketakutan, disangka terjadi gempa. Sedangkan dinding dan tiang yang lain tidak terjadi apa-apa. Setelah hal itu terjadi beberapa kali, akhirnya orang tahu bahwa Tonggak Macu akan bergetar hebat bila salah seorang dari jamaahnya berlaku tidak sopan, berkata-kata jorok atau bercanda dengan mendekatkan empu kaki ke Tonggak Macu tersebut.

Bagi masyarakat sekitar, Tonggak Macu tersebut dikeramatkan pula, bila seseorang memeluk tonggak macu tersebut dengan merentangkan tangan mengelilingi tonggak tersebut, ujung-ujung tangan dapat menyentuh ujung tangan yang lain, itu dipertandakan akan tercapai apa yang di cita-citakan.

Uniknya, bila dihitung jumlah tiangnya tidak akan pernah mencapai 60, selalu berkurang satu bahkan jauh dari jumlah 60. Saya pun sudah mencoba menghitungnya sebanyak dua kali, pertama berjumlah 58 dan kedua berjumlah 58 juga. Kemudian saya juga mencoba memeluk Tonggak Macu ini mencoba hal yang menarik yang dimitoskan di masjid ini.

Pesona Masjid Kurang Aso 60 (2017 | Koleksi Pribadi)
Masjid Kurang Aso 60 ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan menjadi awal mula syiar agama Islam ke seluruh Kabupaten Solok Selatan. Bersanding harmonis dengan balai adat dengan 4 rajanya dalam satu Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu yang menjadi perwujudan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah dengan nilai historis yang tinggi. 

Masjid Kurang Aso 60 seakan menjadi destinasi wisata religi yang wajib dikunjungi, bila berlibur ke Kawasan Nagari Saribu Rumah Gadang ini. Ayo ke Solok Selatan. The Heart of Minangkabau.

Referensi: 
1. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar (2006). Masjid-Masjid Kuno di Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Batusangkar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar.
2. Gamal Yusaf (2009). Syekh Maulana Sofi dengan Masjid Kurang Aso Anam Puluah di Alam Surambi Sungai Pagu . Artikel Internet (bandalakun.wordpress.com). Diakses November 2017.
3. Hasmurdi Hasan (2010). Falsafah Yang Terkandung Pada Arsitektur Masjid Kurang Aso 60 Di Alam Surambi Sungai Pagu. Artikel Internet (bandalakun.wordpress.com). Diakses November 2017.
——————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel