Kota Tua Padang Harta Karun Pariwisata Masa Depan?

Kota Tua Padang

Belakangan geliat pariwisata di Kota Padang semakin menjadi-jadi. Buah hasilnya dapat dilihat di kawasan Pantai Padang, Gunuang Padang, dan perlahan menuju Pantai Aie Manih. Ini merupakan objek wisata unggulan yang masuk ke dalam Kawasan Wisata Terpadu (KWT) Gunuang Padang. Namun, ada satu tempat yang tertinggal yaitu Kota TuaPadang atau Padang Lama.

Kota Tua Padang merupakan jejak peradaban yang dibangun dari keberagaman budaya dan historis yang saling terpaut menjadi kesatuan dalam satu kawasan di Kota Padang. Ruang lingkupnya mulai Kawasan Batang Arau, Kawasan Kelenteng, Jalan Niaga, Kawasan Pasa Gadang, Jalan Geraja, Kawasan Gantiang, Jalan Sudirman dan Kawasan Teluk Bayur.

Kota Tua Padang
Suasana Kawasan Pasar Gadang yang pernah menjadi pasar lokal pertama di Kota Padang
Secara historis, Padang memiliki titik di mana kotanya lahir dan berkembang. Mulai dari wilayah rantau yang penuh dengan rawa dan rimba. Berkembang, ketika pedagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tiba pada abad ke-17. Kemudian menjadi kota metropolitan terpenting di pulau Sumatra pada abad ke-18 (Amran, 1986). Sampai abad ke- 20 Padang tidak saja menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan, juga menjadi puat pemerintahan Belanda untuk Sumatra bagian Barat (Sofwan, dkk: 1987).

Hampir tiap kota di Indonesia memiliki kawasan kota tua, termasuk Kota Padang. Pengembangan pariwisata berbasis kota tua sedang booming di berbagai daerah. Ditambah, pemerintah pusat telah memutuskan pariwisata menjadi leading sektor pendapatan negara dan hal ini ikut menular ke daerah. 

Kota Tua Padang
Salah satu sudut bangunan kolonial yang masih terjaga di Kawasan Kota Tua Padang

Sayangnya, wajah Kota Tua Padang belum sepenuhnya dipercantik. Padahal, Kota Padang pun telah bergabung ke dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Upaya perlindungan telah dilakukan dengan dikeluarkan SK Walikota Nomor 03 Tahun 1998 terhadap 74 bangunan cagar budaya di Kota Padang. Dalam RTRW Kota Padang Tahun 2010-2030 sudah tercantum sebagai daerah cagar budaya yang berfungsi untuk pariwisata.

Waktu berkata lain, pasca gempa 30 September 2009 banyak banguan tua dan cagar budaya yang rusak dan hancur hingga kembali direkonstruksi/direnovasi menjadi bangunan baru. Ditambah masalah kepemilikan bangunan dan sarana pra sarana pendukung lainnya menjadi penghambat. Sejak tahun 1998 sudah 5 kali pergantian kepala daerah, masih ada kendala dan belum terealisasi hingga saat ini upaya dalam merevitalisasi kota tua.

Terlepas dari itu semua, Kota tua Padang memiliki perjalanan panjang yang telah mengantarkan Padang menjadi kota yang besar dan berpengaruh pada zamannya.  Jejaknya masih terlihat hingga saat ini,  baik secara bendawi (tangible) maupun non bendawi (intangible). Kota Tua Padang dalam perkembangannya telah didedikasikan menjadi destinasi wisata. Ini seolah menjadi harta karun yang potensinya belum sepenuhnya digali.

Penulis mengkelompokan enam magnet utama aktivitas kepariwisataan di Kota Tua Padang. Pertama, wisata sejarah. Kota tua dapat menjadi media belajar sejarah yang disajikan secara live sebagai bukti kejayaan Kota Padang di masa lalu dan telah menyelami empat zaman (kerajaan, kolonial Hindia Belanda, kependudukan Jepang dan era Kemerdekaan). Bentuknya berupa warisan cagar budaya seperti bangunan perkantoran, benteng, stasiun kereta api, dan lainnya.

Kota Tua Padang
Kawasan Jalan Kelenteng dikenal sebagai Chinse Town Padang
Kedua, wisata budaya. Kota Tua Padang memiliki akulturasi budaya dan pembauran etnik yang menjadi sajian atraksi menarik untuk dikunjungi. Setidaknya ada etnis India, Tiongkok, Nias, Melayu, Jawa, dan Minangkabau yang mendiami kawasan Kota Tua Padang saat ini.

Ada atraksi Barongsai, Kesenian Gambang, Pawai Sipasan, Perayaan Cap Go Meh hingga tradisi Sembhyang Tinggi dari masyarakat keturunan Tiongkok sekitaran Kelenteng. Lain halnya masyarakat keturunan India di kawasan Pasar Batipuh tiap tahunnya menggelar tradisi Serak Gula. Ada juga Tari Balanse Madam yang diwarisi dari masyarakat Nias yang bermukim di Seberang Palinggam hingga permainan anak nagari yang melegenda di tepian Sungai Batang Arau yaitu Selaju Sampan Dayung Palinggam. Belakangan Kota Tua Padang menjadi tempat Festival Siti Nurbaya dan Padang Indian Ocean Musik Festival (PIOM Fest).

Ketiga, wisata religi. Kota Tua Padang merupakan kawasan multietnik dengan berbagai macam potret tempat ibadah sehingga melahirkan keberagaman yang hidup berdampingan sejak abad ke-18. Ada Masjid Raya Gantiang (1775), Kelenteng See Hin Kiong (1841), Masjid Muhammadan (1843), Gereja Biaro St. Leo (1903), Gereja GPIB (1930), dan Gereja Katolik (1933). Semuanya ini merupakan bangunan cagar budaya yang memiliki peran penting dan sejarah keagaaman di zamannya.

Keempat, wisata olahraga. Berkeliling Kota Tua Padang dapat menemukan berbagai hal yang menarik, terkadang bisa bernostagia menembus suasana zaman tempo dulu. Mulai dengan jalan kaki mengitari kawasan bangunan tua, jogging ke jalan lintas Nipah-Aie Manih, hiking ke Gunuang Padang, bersepedah ke Bukit Gado-Gado hingga mendayung sampan di sungai Batang Arau. Cukup menyenangkan berwisata sembari membakar kalori.

Kota Tua Padang
Suasana tepian Batang Arau yang telah direvitalisasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2018
Kelima, wisata digital. Perkembangan media sosial saat ini memunculkan genre baru pariwisata bernama destinasi digital. Kota Tua Padang sangat berpotensi dengan genre tersebut, sebagai tempat yang instagenik. Terdapat sejumlah bangunan tua yang unik memiliki arsitektur bergaya Eropa, Tiongkok dan vernacular nusantara seperti Geo Wehry & Co, Padangsche Spaarbank dan lainnya.

Kota Tua Padang yang berbalut nuansa klasik dapat menjadi lokasi huntingfoto. Menangkap sudut-sudut eksotisme kota tempo dulu. Biasanya dengan gaya ala urbex, potrait, streetvintagehingga jadi latar untuk foto prawedding.

Terakhir Keenam, wisata kuliner. Kota Tua Padang memiliki sejumlah titik ini pusat kuliner yang melegenda dan wajib untuk dicicipi sebagai wisata gastronomi. Ada Es Durian Ganti Nan Lamo (1960) di Pulau Karam dan Kopi Nan Yo (1932) di Jalan Niaga. Di Jembatan Siti Nurbaya terdapat jajanan jagung bakar dan pisang keju. Dekat pelabuhan Muaro ada menu seafood, kerupuk kuah dan langkitang. Kemudian sekitar jalan Kelenteng ada minum Kopmil (2002) hingga beragam bangunan kolonial yang beralih fungsi menjadi cafe, resto dan coffee shop.

Kesemua magnet kepariwisataan di Kota Tua Padang ini sudah memenuhi unsur daya tarik wisata Kota Tua Padang yaitu ada sesuatu yang dapat dilihat (something to see), sesuatu yang dapat dilakukan (something to do) dan sesuatu yang dapat dibeli (something to buy). Begitu juga komponen 3A (Atrkasi, Aksesibilitas, dan Amenitas) dalam pengembangan pariwisata.

Lagi-lagi komitmen dalam penataan dan revitalisasi menjadi nadi dalam membangun kawasan kota tua sebagai daya tarik objek wisata yang bernilai tinggi. Dengan segala potensi yang ada, lantas akan dibiarkan begitu saja Kota Tua Padang?

Tulisan ini dipublikasikan pada Harian Singgalang, Minggu 16 Juni 2019. Penulis merupakan Blogger, Penggiat Pariwisata dan Founder Padang Heritage yang berdomisili di Kota Padang.
———————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan dan foto ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel