Silo Gunung Penyalur Batubara Ombilin dan Warisan Budaya Dunia

Silo Gunung

Silo Gunung namanya masih kurang familiar dibandingkan Gunung Padang atau Pantai Padang. Keberadaannya pun seolah luput dari pandangan atau perbincangan karena memang bukan destinasi wisata. Kini bak artis papan atas, Silo Gunung menjadi perbincangan hangat di kalangan pencinta heritage dunia.

Usut punya usut, ternyata Silo Gunung ini menjadi salah satu bagian kawasan Warisan Budaya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto atau Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto yang telah ditetapkan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 6 Juli 2019 lalu.

Jadi, waktu pengumuman ditetapkannya saya pun sempat terharu. Perjalanan panjang Sawahlunto membuahkan hasil yang manis dan nikmatnya dirasakan juga oleh Kota Padang.

Tambang batubara ini merupakan salah satu perusahaan industri pertambangan pertama di Asia Tenggara pada abad ke-19 dengan teknologi tercangih pada zamannya, memadukan pengetahuan bangsa barat dan lokal secara harmonis mulai dari proses pengolahan hingga proses distribusi. Kehadiran tambang ini sebagai bukit dampak revolusi industri di wilayah Hindia Belanda.

Silo Gunung Menjadi Warisan Dunia di Padang


Silo Gunung

Kala itu, matahari yang kian sampai puncaknya. Untung saja saya menggunakan baju lengan panjang dan topi. Kesempatan mengunjungi Silo Gunung terbilang langka. Menunggu momentum yang pas karena waktu yang terkadang tidak tepat dan juga perihal jarak yang memakan waktu dari pusat kota.

Secara geografis. Silo Gunung ini masuk kawasan Pelabuhan Teluk Bayur Kota Padang sekitar 45 menit dari pusat kota. Kawasan ini dulunya bernama Emmahaven Port. Secara keseluruhan Silo Gunung merupakan atribut dan bagian dari area C yaitu Coal Storage Facility at Emmahaven Port Ombilin Coal Mini Heritage of Sawahlunto.


Silo Gunung

Silo Gunung ini juga meliputi satu dari 12 bagian komponen dan berisi salah satu dari 24 atribut yang memiliki nilai universal luar biasa pada Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto.

Namun, secara resminya menjadi warisan dunia ketika penyerahan sertifikat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si kepada Wali Kota Padang Mahyeldi Ansarullah, S.P pada 29 Oktober 2019 lalu.

Pelabuhan Teluk Bayur dan Silo Gunung Kisah Si Pengalur Batubara Ombilin.

Sili Gunung

Lahirnya Silo Gunung tidak bisa dipisahkan dari pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur. Dalam penelusuran sejarahnya, batubara Ombilin sebagai pematik mega proyek tiga serangkai (linkage system) Indutri Tambang Batubara Ombilin. Ada tambang batu bara,  jalur kereta api, dan pelabuhan.

Kandungan batubara Ombilin ini ditemukan pertama kali tahun 1868. Melihat potensinya, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan perusahaan pertambangan batubara di Ombilin Sawahlunto pada tahun 1892. Seiring berjalannya waktu eksploitasi batubara ini semakin menggeliat sehingga proyek tiga serangkai ini kian dikebut. Hal ini yang menjadi dasar dalam pengajuan warisan dunia.

Pelabuhan Teluk Bayur sendiri dibangun bersamaan dengan pembangunan infastruktur jaringan kereta api yang dibuat secara bertahap. Awalnya Pelabuhan Teluk Bayur ini telah eksis sejak 1780-an.

Namun, bencana alam yang pernah melanda Kota Padang seperti gempa bumi dan tsunami sempat merusak kawasan pelabuhan ini. Seiring berjalannya waktu pemerintah Hindia Belanda meningkatkan kapasitas pelabuhan untuk kegiatan ekspor impor dalam dan luar negeri. Mau tidak mau harus membangun ulang kembali pelabuhannya pada tahun 1888-1892. Pelabuhan ini hasil rancangan J. P. Yzerman.

Menurut Gusti Asnan, ada beberapa latar belakang pembangunan pelabuhan Teluk Bayur yaitu pertama, dibutuhkan sebuah pelabuhan yang representatif yang mampu melayani kegiatan ekspor batubara yang ditambang di Ombilin. Sejak perempat terakhir abad ke‐19 pemerintah Hindia Belanda bersungguh‐sungguh mendukung eksplorasi dan eksploitasi batubara di Sawahlunto.

Kedua, sehubungan dengan alasan pertama, reede yang ada di Pulau Pisang atau Pelabuhan Muaro dinilai tidak mampu menampung jumlah batubara yang akan diekspor serta tidak mampu menampung bersandarnya kapal‐kapal yang lebih besar untuk keperluan itu. Pelabuhan ini diresmikan bersamaan waktunya dengan pemakaian jalan kereta api ruas Emmahaven‐Padang, Padang Panjang‐Muaro Kelaban pada tahun 1892.

Untuk Silo Gunung sendiri dibangun bertahap untuk dua bangunan setelah pembuatan jalur kereta api menuju Emmahaven. Menurut catatan sejarah, para pekerja yang membangun infrastruktur di Teluk Bayur ini berasal dari tahanan pribumi yang dirantai. Pembangunan pelabuhan ini menyisakan kisah pilu tersendiri dari sisi lain keindahan Teluk Bayur yang dipopulerkan oleh penyanyi Erni Johan era 1960-an.

Harap-Harap Cemas Mengunjungi Silo Gunung


Jika dilihat dari foto-foto lawas, jejak Silo Gunung ini masih dapat dinikmati. Penamaannya pun bisa dikaitkan dengan fungsi areanya yang berpadu dengan kondisi lingkungannya. Silo Gunung ini berada di badan bukit. Namun, saya belum menemukan literatur terkait nama kawasan ini.

Silo Gunung ini awalnya memiliki dua bangunan yang bentuknya kembar lengkap dengan jalur kereta apinya. Kemudian seiring dengan perkembangan teknologi pengangkutan dan perluasan area pelabuhan, maka satu bangunan tersebut dengan terpaksa dihancurkan hingga saat ini dapat dilihat tinggal satu bangunan.


Silo Gunung

Silo Gunung ini merupakan berupa fasilitas penyimpanan dan transshipment (alih muatan kapal) batu bara hasil pertambangan batubara Ombilin Sawahlunto yang didistribusikan melalui kereta api hingga ke Pelabuhan Teluk Bayur.

Area ini menjadi titik terakhir penyaluran batubara dari pedalaman Minangkabau ke Batavia atau kawasan Hindia Belanda lainnya. Ibarat simpul, Silo Gunung ini tidak bisa dipisahkan dengan industri batubara Ombilin, saling mengikat dan terintegrasi.

Silo Gunung

Perlu perdebatan hingga 20 tahun untuk memutuskan distribusi batubara ini. Seolah menjadi kisah tersendiri, apakah melalui pantai barat atau pantai timur Sumatra. Ketika memutuskan jalur pantai barat, maka kembali dilema mau memilih jalur Solok atau via Padang Panjang.

Ada pertimbangan daya tempuh dan medan yang dilalui untuk bisa tiba secara efisien di Pelabuhan Teluk Bayur. Jejak transportasi kereta api masih dapat dinikmati hingga saat ini yang melalui 7 kabupaten kota di Sumatra Barat. Hampir setengah daerah terdampak dan menjadi bagian warisan dunia ini.

Silo Gunung

Area Silo Gunung ini menjadi bagian dari aset PT. Bukit Asam Unit Produksi Ombilin yang mempunyai luas kawasan sekitar 2,5 hektar. Area ini pun terdiri dari tiga bagian utama yaitu bangunan silo gunung, ampayen atau tempat pembawa batubara ke pelabuhan, dan ruang kontrol.

Saat itu pintu masuk masih terkunci. Petugas keamanan pun membantu membukakan pagar besi tersebut. Memasuki area Silo Gunung akan terlihat papan informasi mengenai historis warisan budaya ini. Tidak beberapa langkah akan bertemu dengan ruang kontrol yang akan menjalankan semua proses pengangkutan batubara secara elektrik dengan conveyor.


Mesin pengangkut batubara menjulang tinggi dan ada yang melintang ke jalan. Terlihat jelas berada di dekat dinding bukit yang tampak ramai juga ada rumah penduduk. Rangkaian alat pengangkutan ini terbuat dari besi baja yang dicat berwarna biru meski sudah pudar dan berkarat.

Secara umum, kondisinya masih kokoh dan cantik walaupun sudah dihantam hujan badai hingga gempa sekali pun. Harus diakui perihal konstruksi, para insinyur di zaman kolonial ini sangat hebat bisa berteman dengan alam dan karyanya masih dapat dijumpai saat ini.

Silo Gunung
Silo Gunung

Berjalan terus hingga akhirnya sampai di bangunan Silo Gunung. Bagi saya, Silo Gunung ini sangat mengagumkan, bisa dibilang satu-satunya bangunan peninggalan kolonial yang terpanjang di Ranah Minang. Saya pun bergegas untuk masuk ke dalam bangunannya. Terdapat lorong yang panjang dengan sekat yang kata anak muda sekarang itu instagenik sekali. Saya tidak melewatkan kesempatan ini untuk mengabadikan gambar.

Panjang bangunan Silo Gunung ini sekitar 200 meter dengan panjang terowongan 150 meter dan memiliki sekat 38 blok. Di sebelah bangunan arah ke laut terdapat jejak rel kereta atau lori dengan paping blok sedangkan di arah ke bukit masih tanah dengan remputan liarnya. Terdapat rangkaian bangunan conveyor untuk pengangkutan batubara.

Silo Gunung
Silo Gunung

Alhamdulillah sekali foto saya yang objeknya Silo Gunung sempat terpilih menjadi pemenang Lomba Fotografi Warisan Budaya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto Tahun 2020 yang diselenggarakan Dinas Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto. Diumumkan tepat satu tahun pengakuan warisan dunia pada 6 Juli 2020.

Dulu sebelum menjadi warisan dunia, bangunan ini kurang mendapat perhatian terlihat banyak semak belukar dan memberikan kesan menakutkan alias horor. Suasana Silo Gunung saat ini terjaga dengan baik meski nuansa agak gimana gitu. Bisa dimaklumi karena tidak banyak yang mengunjunginya.

Silo Gunung Potensi Destinasi Heritage Unggulan


Silo Gunung

Kini, manisnya ekspoitasi batubara Ombilin dapat dinikmati oleh Kota Padang sebagai salah satu daerah yang menjadi objek vital dalam penetapan warisan dunia ini.

Jika Teluk Bayur dan Silo Gunung tidak bisa dipisahkan, maka Batang Arau atau bisa disebut Kota Tua Padang pun tidak boleh luput dari perhatian. Meski sama-sama kita ketahui kondisi tapak sejarah Padang ini kondisinya seperti apa.

Silo Gunung menjadi daya letup untuk mengangkat kembali wisata heritage di Kota Padang. Hal ini bisa terintegrasi dengan Kawasan Wisata Terpadu Gunuang Padang, ada Pantai Aie Manih, Kota Tua Padang, Pantai Padang hingga Gunuang Padang.

Silo Gunung

Kolaborasi dan bersinergi dengan berbagai kalangan menjadi hal yang harus digiatkan. Silo Gunung sebagai warisan dunia, banyak meninggalkan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Setidaknya mulai dengan memperkenalkannya dan mempercantik wajahnya terlebih dahulu.

Rasanya tidak ada kata lelah untuk menikmati kemegahan peninggalan sejarah ini. Silo Gunung, jejak kemajuan teknologi penyalur batubara yang keren pada zamannya, kini ia telah mendunia.

Namun, apa daya perihal waktu jua yang membatasi. Lagi pula saya sudah lapar dan matahari sudah pun tegak di atas kepala. Panasnya amboy sekali.
——————————————————————————————————————————————————
©Hak Cipta Bayu Haryanto. Jika mengkopi-paste tulisan ini di situs, milis, dan situs jaringan sosial harap tampilkan sumber dan link aslinya secara utuh. Terima kasih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel